Sustainable CSR: Belajar dari Seed to Table

17 Mar 2021

Pandemi COVID-19 telah membawa dampak buruk bagi berbagai industri di Indonesia. Salah satu sektor industri yang paling terdampak oleh pandemi ini adalah industri perhotelan. Industri perhotelan berkaitan erat dengan pariwisata, sehingga hotel-hotel di Indonesia akan kesulitan memeroleh penghuni ketika perbatasan negara ditutup. Padahal, keberadaan penghuni merupakan salah satu sumber pendapatan utama mereka. The Shalimar Boutique Hotel menjadi salah satu hotel yang merasakan dampak ini. Hotel yang berpusat di Malang ini perlu melakukan berbagai perubahan dan adaptasi agar mereka tidak gulung tikar.

Pada Rabu, 17 Maret 2021, mahasiswa dari kelas Corporate Social Responsibility (CSR) FIKOM berkesempatan untuk mengetahui secara langsung bagaimana The Shalimar Boutique Hotel bertahan selama pandemi COVID-19 bersama Grace Syiariel selaku General Manager dan Kartika Chandra Hapsari selaku Marketing Communications. Grace mengungkapkan bahwa selama pandemi jumlah hunian kamar mereka menurun dan sebagian besar karyawan dirumahkan (work from home), sehingga hanya ada 15 orang yang melaksanakan operasional hotel secara luring sehari-hari. Selain itu, sebagian besar acara (event) hotel ditiadakan akibat larangan berkumpul untuk mencegah penularan COVID-19. Melihat kondisi ini, mereka memutuskan untuk memasuki survival mode dengan melakukan berbagai kegiatan baru.

Kegiatan The Shalimar Boutique Hotel dalam survival mode mengusung konsep berkelanjutan dan ada dua hal penting dalam proses melaksanakan survival mode ini, yaitu kebersamaan dan dedikasi karyawan hotel (togetherness) serta inovasi dan keinginan untuk keluar dari zona nyaman. Sebelum berinovasi, para karyawan perlu terlebih dahulu memiliki keinginan untuk bersama-sama bertahan di tengah pandemi COVID-19. Keinginan bersama ini akan membantu mereka untuk tetap kompak saat melaksanakan kegiatan-kegiatan survival mode. Untuk inovasi sendiri, Grace mengungkapkan bahwa The Shalimar Boutique Hotel memberikan penawaran menarik untuk mengundang pelanggan mereka dan menjual produk atau jasa selain layanan hotel (hospitality service). “Kami membuka pre-order (PO) makanan dari salah satu restoran kami―La Regina―kepada pelanggan di Surabaya, menjual makanan beku dan makanan kemasan, menjual makanan sehat dan keto food, serta melakukan virtual tour dan talkshow interaktif bersama pakar dengan topik yang berbeda,” ujar Grace. Namun, The Shalimar Boutique Hotel perlu melakukan lebih dari sekedar kegiatan dalam survival mode ini apabila ingin bertahan selama pandemi COVID-19 masih berlangsung. Oleh karena itu, mereka ingin berkontribusi bagi pihak internal dan eksternal hotel melalui kegiatan CSR.

“Kami memberikan bantuan berupa sembako bagi pihak internal, sedangkan pihak eksternal akan memperoleh bantuan dari Seed to Table,” ungkap Grace. Seed to Table adalah sebuah gerakan kecil untuk memenuhi kebutuhan akan sayuran dan micro herbs dengan menanamnya secara mandiri, sehingga hasil penanaman akan berkualitas dan terjamin. Gerakan ini awalnya dimulai dari keinginan Grace untuk memenuhi salah satu kebutuhan bahan makan hotel yang langka, yaitu Italian basil atau kemangi Italia. Seiring waktu, Grace ingin menanam lebih banyak bahan makanan impor secara mandiri menggunakan sistem permakultur, sehingga program ini pun diciptakan. Bibit dari hasil penanaman tersebut kemudian dibagikan pada 11 kelurahan di Klojen saat The Shalimar Boutique Hotel merayakan ulang tahun mereka yang ke-5. Setiap kelurahan memperoleh masing-masing 50 bibit tomat, cabai, dan terong.

Grace berharap, gerakan ini tidak hanya membantu masyarakat Klojen selama pandemi COVID-19, tetapi juga mempengaruhi mereka untuk lebih mencintai lingkungan, mengurangi limbah, peduli terhadap kesehatan mereka dan sekitar, dan mulai menanam bahan makanan mereka sendiri. Gerakan ini juga menjadi langkah bagi The Shalimar Boutique Hotel untuk menuju gaya hidup tanpa limbah atau zero waste. Biji bibit yang ditanam berasal dari bahan baku yang sudah tidak layak pakai, sehingga mengurangi limbah yang dihasilkan oleh hotel.

Gerakan ini telah dimuat di berbagai media dan Kartika sebagai marketing communications memaparkan bagaimana cara Seed to Table memperoleh publisitas lewat media. Cara ini dapat diterapkan pada kegiatan CSR lain pula. Pertama, marketing communications perlu membangun hubungan baik dengan para wartawan dan media. “Hubungan baik ini bisa dimulai dengan sekedar mengobrol atau membantu saat mereka membutuhkan bantuan,” ujar Kartika. Selanjutnya, press release dari kegiatan CSR perlu memiliki keunikan (unique selling points) dan memiliki nilai berita. Tanpa hal ini, akan sulit bagi media untuk mempublikasikan kegiatan CSR walaupun marketing communications memiliki hubungan baik dengan wartawan dan media. Terakhir, marketing communications dapat menghubungi media daring agar kegiatan CSR memperoleh publisitas lebih.


Close previewer